Sabtu, 25 April 2009

Pohon Mangga
December 13th, 2008 | by richardus |

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon mangga besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon mangga itu setiap hari.

Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon mangga itu. Demikian pula pohon manggal sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu.Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon mangga itu setiap harinya.

Suatu hari ia mendatangi pohon mangga. Wajahnya tampak sedih. “Ayo ke sini bermain-main lagi denganku,” pinta pohon mangga itu. “Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi,” jawab anak lelaki itu.”Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya.” Pohon mangga itu menyahut, “Duh, maaf aku pun tak punya uang… tetapi kau boleh mengambil semua buah manggaku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu.” Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah mangga yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita.

Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi.

Pohon mangga itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon mangga sangat senang melihatnya datang. “Ayo bermain-main denganku lagi,” kata pohon mangga. “Aku tak punya waktu,” jawab anak lelaki itu. “Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?” Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu,” kata pohon mangga.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon Mangga itu dan pergi dengan gembira. Pohon Mangga itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi.

Pohon mangga itu merasa kesepian dan sedih. Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon mangga merasa sangat bersuka cita menyambutnya.”Ayo bermain-main lagi denganku,” kata pohon mangga.”Aku sedih,” kata anak lelaki itu.”Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar.. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?” “Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah.”

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon mangga itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon mangga itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. “Maaf anakku,” kata pohon mangga itu. “Aku sudah tak memiliki buah mangga lagi untukmu.” “Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah manggamu,” jawab anak lelaki itu. “Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat,” kata pohon mangga.”Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu,” jawab anak lelaki itu.”Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini,” kata pohon Mangga itu sambil menitikkan air mata. “Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang,” kata anak lelaki. “Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.” “Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang.” Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon Mangga itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Pohon Mangga itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita




Kisah Jenderal dan Prajurit

November 29th, 2008 | by richardus |

Dikisahkan ada seorang Jendral di kisah Tiga Negara di Negeri Tiongkok Ketika perempuran Tiga Negara berlangsung, dia bila melewati suatu desa.
Maka di desa itu dia merekrut dan mengajak bergabung laki-laki yang sudah cukup umur untuk bergabung. Dan bila setiap 3 s/d 5 tahun lagi ketika Jenderal itu melewati desa-desa itu, dia kembali merekrut calon pasukan untuk diajak bertempur.
Dia suatu ketika ada seorang prajuit berkuda yang membawa surat dari para prajurit di medan perang yang masih hidup untuk keluarga di desa masing-masing.
Ketika kurir ini memasuki desa, maka para penduduk mulai berkumpul di balai desa dari para ibu-ibu s/d para manula yang berjalan harus dibantu tongkat, untuk mendapatkan kabar tentang keluarga mereka yang ikut perang. Memang ada beberapa penduduk desa yang masih buta huruf, sehingga harus dibantu prajurit untuk membacakan surat dari anaknya.
Di salah satu surat yang dibacakan kepada seorang ibu, surat itu memberi tahukan kalau anak ibu itu masih selamat di pertempuran, setelah mengalami kejadian yang paling mengerikan.
Ketika itu, pasukan sang Jendral mundur kembali ke Barak nya. Anak dari Ibu itu, ketika berjalan bersama pasukannya untuk kembali Kakinya tidak sengaja terkena Perangkap yang ada racun nya yang dipasang oleh musuh di tanah Kaki prajurit itu robek, berdarah Darah sedikit demi sedikit keluar dari luka itu.
Prajurit itu tetap berjalan mengikuti prajurit yang lain untuk pulang ke Barak Tanpa disadarinya Nanah akibat dari racun yang masuk melalui luka mulai keluar sedikit demi sedikit.
Langkah semakin berat Karena di sekitar luka di kaki mulai terasa sakit yang tak terkirakan. Langkah semakin berat Kaki semakin sulit untuk digerakkan dengan leluasa. Nanah yang bercampur dengan darah mulai membanjir keluar Dikarenakan sobekan luka yang semakin besar Karena kaki terus dipaksa berjalan. Harus terus dipaksa berjalan karena kalau berhenti bebrbahaya sekali karena ini masih di wilayah kekuasaan musuh. Berbahaya kalau tiba-tiba ada musuh menyusul dari belakang.
Titik pandangan pasukan yang paling belakang semakin hilang karena tidak bisa menyusul teman-teman yang semakin jauh. Padahal luka semakin sakit rasanya. Darah dan nanah mulai membanjiri keluar dari luka.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara derap kuda yang semakin mendekat. Siapakah yang datang mendekat? Ternyata suara itu datang dari arah depan. Mulai terlihat sedikit demi sedikit yang datang adalah sang Jendral yang menunggangi kudanya
Sang Jendral manrik tangan prajurit yang terluka, membantunya untuk menaiki kudanya. Setelah itu, sang Jendral memacu kudanya mengarah ke Barak pasukan Semakin cepat kuda itu berlari, sehingga melewati barisan pasukan demi pasukan sehingga dapat menyalip seluruh pasukan yang sedang menuju kembali ke barak. Setelah menjadi yang tiba pertama kali di barak sang Jendral membantu prajurit yang terluka untuk turun dari kudanya sampai akhirnya prajurit muda itu bisa mendapatkan tempat duduk.
Setelah itu Jenderal itu membuka sepatu milik prajurit yang terluka itu di sebelah yang sudah robek, yang bercampur darah dan nanah yang sangat banyak. Jendral itu membantu membasuh kaki si prajurit dengan air bersih dan setelah itu sang Jendral berusaha mengeluarkan racun di kaki prajurit itu dengan dihisap dengan mulutnya sendiri Tiba-tiba Ibu yang dibacakan surat dari anaknya ini berteriak histeris : “Anakku sudah mati, sudah mati anakku!!!!”
Sang pembaca berita bengong dan bertanya “Ibu, anak ibu masih hidup, dia sekarang masih ada dibarak.” “Kenapa di bilang sudah mati?.” I
bu itu yang masih histeris karena sedih berkata “Karena persis terjadi seperti bapaknya dahulu, Bapaknya dulu terkena panah beracun di lengannya dan ditolong oleh sang Jendral sepeti dia menolong anakku. Karena perlakuan Jendral pada suamiku. Maka dia berjuang dengan berani mati membela pasukan Jendral, sehingga akhirnya bapaknya anakku itu tewas dipertempuran. Maka akan samalah nasib anakku dengan bapaknya. Akan berani mati bertempur di medan peperangan. Yang akan menghasilkan anakku akan cepat mati menyusul bapaknya.”
Ini adalah cerita yang diceritakan oleh Tung Desem Waringin Yang dimaksudakan disini adalah apakah bisa, kita sebagai pemimpin membuat bawahan kita, anak buah kita, pegawai kita bena-benar berjuang untuk kita membela kita sampai titik darah penghabisan? Apakah kita bisa menjadi pemimpin seperti itu yang memotivasi bawahan kita untuk menghasilkan kinerja yang luar biasa?



KISAH 4 PENDEKAR SAKTI

Kisah 4 pendekar sejatiBeberapa waktu lalu saya menghadiri sebuah program pelatihan. Dalam pelatihan itu para peserta diberikan kesempatan untuk mempraktekan apa yang biasa kita sebut dengan ‘mind power’. Secara teoritis, orang-orang yang dapat menggunakan mind power dalam pelatihan itu akan mampu untuk melakukan tiga tantangan yang tampaknya tak gampang.
Tantangan pertama menjatuhkan bola lampu dari ketinggian tertentu menimpa keramik yang biasa digunakan sebagai lantai rumah. Tetapi yang pecah keramiknya, bukan bola lampunya. Tantangan kedua, tingkat kesulitannya lebih tinggi karena harus mematahkan sebatang besi dengan menggunakan kertas koran. Dan, yang lebih sulit dari itu adalah mematahkan sebatang pensil dengan menggunakan kertas HVS. Anda percaya semua itu bisa dilakukan? Mind power bisa membantu menyelesaikannya.
Ketika orang-orang mencoba semua tantangan itu, saya teringat sebuah kisah klasik tentang seorang sakti dengan ketiga muridnya. Saat kesaktian para muridnya sudah sangat tinggi, sang guru tahu bahwa dia harus segera pergi. Untuk itu dia harus mempercayakan perguruannya kepada penerusnya. Setelah itu, Sang Guru akan memasuki tahap akhir dari misi hidupnya, yaitu; pergi melanglangbuana. Pertanyaannya
adalah; kepada siapa dia harus memberikan kepercayaan itu? Ketiga muridnya sama-sama sakti. Sama-sama baik. Dan sama-sama hebat. Akhirnya, Sang guru memutuskan untuk memberikan tiga jenis ujian.
Ujian pertama menjatuhkan sebutir telur dari puncak tebing menimpa batu cadas, namun telur itu tidak pecah. Ini tugas yang paling gampang. Kedua, mengosongkan air di telaga dengan menggunakan jari telunjuk. Tentu yang ini agak sulit. Dan yang ketiga, membuat ukiran hati masing-masing pada lempengan besi hanya dengan menggunakan tatapan mata. Pastilah tantangan ketiga ini yang paling sulit dilakukan. Sedangkan untuk meneyelesaikan semua tantangan itu, mereka hanya diberi waktu selama tiga hari. Barangsiapa bisa menyelesaikan ujian itu; maka dia mendapatkan warisan perguruan beserta seluruh aset yang ada didalamnya.
Dihari yang ditentukan, para murid menghadap Sang Guru. Lalu Sang Guru memberi kesempatan kepada murid pertama untuk menunjukkan semua yang sudah dilakukannya. Dia membawa telur ayam itu dalam keadaan utuh, sedangkan batu cadas yang tertimpa hancur berantakan. Pastilah dia memiliki ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi sehingga bisa dipindahkan kepada sebutir telur. Lalu, dia menunjukkan telaga yang kering kerontang. Tak setetes pun air yang masih tersisa didalamnya. Membuktikan bahwa dia bisa melakukan pekerjaan besar hanya dengan menggunakan telunjuknya. Kemudian, dia menyerahkan sebongkah besi baja yang berukir hati dengan ukuran yang sangat besar. Ini
membuktikan bahwa tatapan matanya begitu kuat sehingga baja sekalipun tunduk kepadanya.Sang Guru kemudian berkata; “Muridku, ukuran hati kamu begitu besarnya. Mengapa bisa demikian?”"Guru,” sang murid sakti menjawab, “saya memiliki kebesaran hati
untuk menjalani segala sesuatu dalam hidup ini.” lanjutnya. “Saya tidak gentar menghadapi apapun. Karena saya yakin bahwa saya bisa menyelesaikan segala sesuatu dengan baik.” Dia menjelaskan dengan semangat yang berapi-api. Sangat terasa aura kebesaran hati yang dipancarkannya.

Murid kedua mendapatkan gilirannya. Dia menunjukkan semua bukti kesaktiannya, seperti murid pertama. Namun, ukiran hati dalam lempengan besi itu ukurannya sangat kecil sekali, hingga nyaris tidak kelihatan. Sang guru bertanya;”Muridku, aku lihat ukuran hati kamu sebegitu kecilnya. Mengapa bisa demikian?”
“Guru,” jawab sang murid sakti, “ciut hati saya jika harus melakukan suatu keburukan. Saya sangat takut kalau harus melakukan hal-hal yang melanggar norma dan etika.” Lanjutnya. “Saya tidak memiliki cukup keberanian untuk mempertaruhkan kehormatan.” Dia menjelaskan dengan mata berkaca-kaca. Sangat terasa aura kerendahan hati yang
dipancarkannya.Lalu, tibalah giliran murid ketiga. Dia membawa telur utuh, dan batu karang yang hancur lebur. Dia juga menunjukkan lempengan baja yang berlubang membentuk hati. Namun, ketika ditanya tentang telaga, sang murid menjawab; “maaf guru, saya tidak mengosongkan telaga itu,” katanya. “Mengapa?” begitu Sang Guru bertanya.

Sang Murid mengatakan bahwa setelah berhasil menyelesaikan tugas paling mudah – menjatuhkan telur diatas batu cadas – dia berpikir untuk langsung menyelesaikan tugas yang paling sulit, yaitu; mengukir hati pada lempengan besi hanya dengan menggunakan tatapan mata. Sebab, jika tugas paling mudah dan paling sulit bisa dituntaskan, pasti tugas yang sedang-sedang saja bisa terselesaikan. “Tetapi,” kata Sang Guru, “Kamu tetap harus membuktikannya terlebih dahulu.”
“Benar, Guru,” jawab sang murid. “Semula saya berpikir untuk mengeringkan telaga itu. Tetapi,” lanjutnya. “Setelah membuat lubang tembus pandang berupa hati dibesi itu; seolah saya bisa memasukinya, dan tiba-tiba saja saya merasakan hati saya berbicara.” katanya.”Apa yang dikatakan oleh hatimu?” tanya Sang Guru.Sang murid menceritakan bahwa ukiran hati pada baja itu berkata; “Setelah ujian paling sulit kamu taklukan, pastilah kamu
bisa menyelesaikan ujian yang lebih mudah. Tetapi, jika kamu menyelesaikan ketiga ujian itu, maka kamu berubah menjadi sombong,” katanya. “Saya tidak ingin hati ini berubah menjadi sombong,” lanjutnya. “Jadi, saya memutuskan untuk tidak mengeringkan telaga itu.”
“Aku mengerti,” kata Sang Guru. “Namun, tahukah kamu bahwa tidak melakukannya berarti kehilangan kesempatan untuk mendapatkan warisan perguruan?” Sang murid mengangguk. Dia menerima konsekuensi atas keputusannya. “Bukankah kamu tahu bahwa mewarisi perguruan ini merupakan dambaan semua orang?” Sang Guru meyakinkan. Sang murid kembali mengangguk. “Bukankah dengan mewarisi perguruanku, kamu akan mempunyai kedudukan tinggi dan dihormati?” Lanjut Sang Guru. Sang murid tetap pada keputusannya; melepaskan kesempatan memiliki
perguruan itu.

Lalu, Sang Guru membagi dua perguruan itu. Setengahnya diberikan kepada muridnya yang memiliki ukuran hati besar. Diperguruan itu, kemudian dia mengajarkan tentang optimisme, semangat pantang menyerah, dan kebesaran hati. Setengahnya lagi diberikan kepada muridnya yang mempunyai ukuran hati sangat kecil. Diperguruan itu, kemudian dia mengajarkan tentang menjaga kehormatan, menjauhi keburukan, dan memupuk kerendahan hati. Itulah sebabnya, mengapa sangat mudah bagi kita untuk menemukan guru yang mengajarkan tentang kebesaran hati. Juga mudah untuk menemukan guru yang mengajarkan tentang kerendahan hati. Dari kedua perguruan itu, orang-orang kemudian belajar berjiwa besar dan menjaga kesucian diri. Lalu menggabungkan kedua sikap itu untuk menjadikan dirinya; manusia berkemampuan tinggi yang memiliki budi pekerti.
Muridnya yang ketiga? Dia tidak mendapatkan sedikitpun dari warisan perguruan. Sebab, setiap orang harus menerima konsekuensi atas tindakan dan keputusan yang diambilnya. Namun, dari semua yang sudah dilakukannya, dia mendapatkan hadiah lain; Sang Guru membawanya pergi melanglangbuana. Itulah sebabnya, guru yang membimbing kita cara
membaca isyarat hati; tidak selalu mudah dicari. Karena, guru seperti itu jarang menetap. Mereka melanglangbuana. Menjelajah hidup. Dan tak terikat ruang dan waktu. Namun, ketika hendak pergi, Sang Guru berkata kepada kedua murid pewaris perguruannya; “Meskipun tak kelihatan, namun kami tetap berada didalam hatimu.” Katanya. “Jika kalian ingin menemui kami, maka kalian tahu dimana harus mencari….” Lalu, kedua orang sakti itu memudar. Menyatu dengan udara. Kemudian terbang bersama angin. Mereka pergi melanglangbuana. ….


0 komentar:

:10 :11 :12 :13
:14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21
:22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29
:30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37
:38 :39 :40 :41
:42 :43 :44 :45

Posting Komentar