Selasa, 14 Juli 2009

Jadilah Seperti Lentera

Orang yang merasakan manisnya hidayahnya dan lezatnya iman ialah orang yang punya motivasi dalam hidup dan bertabiat tidak pernah puas pada sesuatu, ia tidak akan puas kalau dirinya saja yang merengkuh kenikmatan dan merasakan kebahgiaan.

Perumpamaannya bagaikan lentera, yang memberi penerangan buat dirinya sebagaimana ia menerangi yang lainnya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:

“Dan apakah orang yang telah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan kembali dan Kami anugerahkan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah manusia, serupa dengan ornag yang keadaannya dalam gelap gulita yang sekali-kali ia tidak dapat keluar darinya?”. [QS. Al-An’am: 122]
Permisalan sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seumpama danau luas yang menerima air, air disimpan dalam perutnya untuk minum manusia dan ternak, ia juga memberi penghidupan untuk tanaman dan pepohonan sekitarnya.

Banyak kelompok pergerakan maupun jamaah dakwah yang mengkarbit jamaahnya untuk menjadi dai, dalam hitungan waktu telah keluar dai-dai baru yang mayoritas kosong dari ilmu dan jauh dari hikmah. Mereka lebih dekat kepada kebodohan daripada ilmu dan pengetahuan, seharusnya menjadi seorang jamaah lebih layak daripada menjadi seorang dai. Akan tetapi karena jamaah dan pergerakannya membutuhkan orang-orang yang menghidupkan pemahaman, maka dilakukan pengkarbitan tadi, maka apa yang ia rusakkan lebih banyak daripada yang ia perbaiki.

Berbeda dengan salaf, memang jumlah dainya tidak seberapa, kadang-kadang dalam satu kota hanya terdapat satu atau dua dai, bahkan kadang-kadang beberapa wilayah dipegang oleh satu dai. Akan tetapi, setiap individu yang telah merasakan ajarang kebenaran ini, kiranya telah menjadi mesin pencetak orang-orang yang semisalnya. Setiap minggu ada saja orang ia bawa untuk datang ke pengajian, atau minimal pengajian yang telah ia terima itu telah ia sampaikan pula kepada orang-orang disekitarnya.

Adalah para sahabat dahulu, juga merupakan dai-dai yang disiapkan oleh Nabi, seperti Muadz bin jabal, Mush’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhum, akan tetapi mereka bukanlah dai karbitan. Jumlah dai-dai itu memang tidak banyak, hanya saja setiap individu sahabat adalah lentera dan secara tidak langsung telah menjadi dai yang mengajak kepada kebenaran sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka tidak tahan melihat saudaranya dalam kesesatan, sedangkan ia dalam kenikmatan iman.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jubair bin Nufair, “Suatu ketika kami duduk bersama Miqdad bin Aswad radhiallahu ‘anhuma, tiba-tiba seseorang lewat dan berkata, ‘Berbahagialah bagi kedua mata tersebut yang telah melihat Rasulullah shalallahu a‘laihi wa sallam, betapa kami berangan-angan agar kami dapat melihat apa yang pernah engkau lihat, dan kami dapat menyaksikan apa yang telah engkau saksikan’. Tiba-tiba Miqdad marah –sehinga membuatku terkejut karena tidak ada yang salah dari ucapannya-.

Lalu ia memandang orang tersebut sambil berkata, ‘apa yang membuat seseorang berangan-angan kepada sesuatu yang telah Allah subhanahu wa ta’ala ghaibkan darinya, sekiranya ia ikut menyaksikan tentu ia tidak apa yang seharusnya ia perbuat. Demi Allah, telah banyak yang menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan tetapi membuat mereka terjerumuskan dalam api neraka, karena mereka tidak memenuhi seruannya dan tidak membenarkannya. Atau selama ini kalian tidak bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah mengluarkan kalian dari perut ibu kalian, tidak mengenal kecuai Rabb kalian dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, bala telah dijauhkan!

Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus pada masa jahiliyah masa genting, dalam pemahaman mereka tidak ada agama yang lebih baik daripada penyembahan berhala, lalu beliau datang membawa al-furqan (pembeda) antara yang haq dengan yang bathil, memisahkan antara anak dengan ayahnya. Sampai seseorang tidak senang hatinya mendapati ayah atau anak atau saudaranya dalam kekafiran, sedangkan hatinya telah dibukakan untuk menerima iman, dan ia mengetahui sekali mereka yang ia cintai pasti akan masuk neraka.” [Tafsir Ibnu katsir 3/439 beliau berkata, “Sanadnya Shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim.”]

Begitulah gambaran kecintaan sahabat kepada keluarga dan kerabatnya dalam memberi hidayah, tidak tenang hati mereka kecuali dengan memberi hidayah kepada orang lain, merekalah lentera kebenaran yang sebenarnya!!

Tugas yang termulia bagi seorang muslim setelah ia memperoleh hidayah adalah mengajak orang lain kepadanya, karena dengan cara begitu hidayah akan kekal pada dirinya. Bukankah “Al-jazaa-u min jinsil amal?!” Ganjaran sesuai dengan jenis usaha, kalau hari ini ia telah memberi hidayah kepada orang lain, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan menganugerahkan kepadanya ganjaran yang serupa yaitu dengan memantapkan hatinya dalam hidayah, sebagaimana dalam doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Ya Allah subhanahu wa ta’ala, hiasilah kami dengan hiasan iman, jadikanlah kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah [HR. Ahmad dan an-Nasaa-i], tidak sesat dan menyesatkan, berdamai dengan wali-wali-Mu, memasang permusuhan dengan musuh-musuh-Mu, mencintai orang yang mencintai atas nama cinta-Mu, dan memusuhi orang yang menyelisihi-Mu karena permusuhan atas-Mu”.

Allah Jalaa Jalalahu memuji hamba mukmin yang memohon agar dijadikan pemimpin yang diberi hidayah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman;

Dan orang-orang yang berkata,

“Wahai Rab kami, anugerahkanlah kepada kami istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [QS. Al-Furqan: 74]

Ibnu Abbas radhialahu ‘anhu berkata, “Meniru kami dan mengambil hidayah dari kami dalam hal kebaikan.” [Tafsir Ibnu katsir 3/439]

Hasan Al-Basri rahimahullah berkata, “Tidak ada yang lebih menyejukkan hati seorang muslim, melainkan melihat anak atau cucunya atau sejawatnya berbuat ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.” [Ibid]

Makhul rahimahullah berkata: “Jadikanlah kami sebagai imam dalam taqwa, (sehingga) orang-orang bertaqwa mengikut kepada kami.”

Mujahid rahimahullah berkata: “Jadikanlah kami makmum orang-orang yang bertaqwa, meneladani mereka.”

Sebagian orang yang tidak mengerti pemahaman dan kedalaman ilmu salaf, merasa sulit memahami tafsiran ini. Mereka berkata,

“Berdasarkan tafsiran ini, susunan ayat menjadi terbalik, sehingga bermakna, ‘Jadikanlah orang-orang yang bertaqwa pemimpin kami’”, kita tentu berlindung dari menafsirkan ayat dalam susunan yang terbalik.

Penafsiran Mujahid rahimahullah ini menunjukkan kesempurnaan ilmu beliau, karena tidak mungkin seseorang menjadi pemimpin bagi orang yang bertaqwa, sampai ia mengikuti orang-orang yang bertaqwa. Maksudnya beliau ingin menegaskan bahwa kemuliaan ini mereka peroleh dengan mengikuti ajaran salaf. Barangsiapa yang menjadikan Ahlussunah sebagai panutannya, niscaya orang-orang semasanya dan setelahnya akan menjadikan dirinya sebagai panutan.

Dalam ayat ini ada sebuah rahasia, yaitu kenapa kata imam pada ayat tersebut dengan lafadz jamak, “waj’alna lil muttaqiina imaman” –tidak “a-immatan”. Sebagian mengatakan bahwa lafadz imam adalah dengan mufrad akan tetapi maksudnya jamak, sebagaimana yang dikatakan oleh Farra’ rahimahulah. Akan tetapi, jawaban terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahulah, bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang selalu di jalan yang satu, ma’bud (zat yang diibadahi) yang satu, pengikut kitab yang satu, nabi yang satu, hamba dari Rabb yang satu, agama mereka satu, seakan-akan mereka bagaikan imam yang satu, tidak seperti para imam yang lain –setiap mereka berselisih, maka berbeda pula ajaran, madzhab dan aqidah mereka. [Risalah Ibnul Qayyim, hal. 15]

Wallahu a’lam.

((Disalin dari buku Untukmu yang Berjiwa Hanif, hal. 64-70, karya Armen Halim Naro, Lc., Pustaka Darul ilmi ))

sumber: salafiyunpad.wordpress.com


Selanjutnya klik...

Jumat, 03 Juli 2009

Kisah Seguci Emas

Sebuah kisah yang terjadi di masa lampau, sebelum Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan. Kisah yang menggambarkan kepada kita pengertian amanah, kezuhudan, dan kejujuran serta wara’ yang sudah sangat langka ditemukan dalam kehidupan manusia di abad ini.

Ada seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari seseorang. Ternyata di dalam tanahnya itu terdapat seguci emas. Lalu berkatalah orang yang membeli tanah itu kepadanya: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Si pemilik tanah berkata kepadanya: “Bahwasanya saya menjual tanah kepadamu berikut isinya.”
Akhirnya, keduanya menemui seseorang untuk menjadi hakim. Kemudian berkatalah orang yang diangkat sebagai hakim itu: “Apakah kamu berdua mempunyai anak?”
Salah satu dari mereka berkata: “Saya punya seorang anak laki-laki.”
Yang lain berkata: “Saya punya seorang anak perempuan.”
Kata sang hakim: “Nikahkanlah mereka berdua dan berilah mereka belanja dari harta ini serta bersedekahlah kalian berdua.”
Sungguh, betapa indah apa yang dikisahkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Di zaman yang kehidupan serba dinilai dengan materi dan keduniaan. Bahkan hubungan persaudaraan pun dibina di atas kebendaan. Wallahul musta’an.
Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisahkan, transaksi yang mereka lakukan berkaitan sebidang tanah. Si penjual merasa yakin bahwa isi tanah itu sudah termasuk dalam transaksi mereka. Sementara si pembeli berkeyakinan sebaliknya; isinya tidak termasuk dalam akad jual beli tersebut.
Kedua lelaki ini tetap bertahan, lebih memilih sikap wara’, tidak mau mengambil dan membelanjakan harta itu, karena adanya kesamaran, apakah halal baginya ataukah haram?
Mereka juga tidak saling berlomba mendapatkan harta itu, bahkan menghindarinya. Simaklah apa yang dikatakan si pembeli tanah: “Ambillah emasmu, sebetulnya aku hanya membeli tanah darimu, bukan membeli emas.”
Barangkali kalau kita yang mengalami, masing-masing akan berusaha cari pembenaran, bukti untuk menunjukkan dirinya lebih berhak terhadap emas tersebut. Tetapi bukan itu yang ingin kita sampaikan melalui kisah ini.
Hadits ini menerangkan ketinggian sikap amanah mereka dan tidak adanya keinginan mereka mengaku-aku sesuatu yang bukan haknya. Juga sikap jujur serta wara’ mereka terhadap dunia, tidak berambisi untuk mengangkangi hak yang belum jelas siapa pemiliknya. Kemudian muamalah mereka yang baik, bukan hanya akhirnya menimbulkan kasih sayang sesama mereka, tetapi menumbuhkan ikatan baru berupa perbesanan, dengan disatukannya mereka melalui perkawinan putra putri mereka. Bahkan, harta tersebut tidak pula keluar dari keluarga besar mereka. Allahu Akbar.
Bandingkan dengan keadaan sebagian kita di zaman ini, sampai terucap dari mereka: “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal?” Subhanallah.
Kemudian, mari perhatikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma:
وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
“Siapa yang terjatuh ke dalam syubhat (perkara yang samar) berarti dia jatuh ke dalam perkara yang haram.”
Sementara kebanyakan kita, menganggap ringan perkara syubhat ini. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan, bahwa siapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar itu, bisa jadi dia jatuh ke dalam perkara yang haram. Orang yang jatuh dalam hal-hal yang meragukan, berani dan tidak memedulikannya, hampir-hampir dia mendekati dan berani pula terhadap perkara yang diharamkan lalu jatuh ke dalamnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan pula dalam sabdanya yang lain:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu, kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Yakni tinggalkanlah apa yang engkau ragu tentangnya, kepada sesuatu yang meyakinkanmu dan kamu tahu bahwa itu tidak mengandung kesamaran.
Sedangkan harta yang haram hanya akan menghilangkan berkah, mengundang kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, menghalangi terkabulnya doa dan membawa seseorang menuju neraka jahannam.
Tidak, ini bukan dongeng pengantar tidur.
Inilah kisah nyata yang diceritakan oleh Ash-Shadiqul Mashduq (yang benar lagi dibenarkan) Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (An-Najm: 3-4)
Kedua lelaki itu menjauh dari harta tersebut sampai akhirnya mereka datang kepada seseorang untuk menjadi hakim yang memutuskan perkara mereka berdua. Menurut sebagian ulama, zhahirnya lelaki itu bukanlah hakim, tapi mereka berdua memintanya memutuskan persoalan di antara mereka.
Dengan keshalihan kedua lelaki tersebut, keduanya lalu pergi menemui seorang yang berilmu di antara ulama mereka agar memutuskan perkara yang sedang mereka hadapi. Adapun argumentasi si penjual, bahwa dia menjual tanah dan apa yang ada di dalamnya, sehingga emas itu bukan miliknya. Sementara si pembeli beralasan, bahwa dia hanya membeli tanah, bukan emas.
Akan tetapi, rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala membuat mereka berdua merasa tidak butuh kepada harta yang meragukan tersebut.
Kemudian, datanglah keputusan yang membuat lega semua pihak, yaitu pernikahan anak laki-laki salah seorang dari mereka dengan anak perempuan pihak lainnya, memberi belanja keluarga baru itu dengan harta temuan tersebut, sehingga menguatkan persaudaraan imaniah di antara dua keluarga yang shalih ini.
Perhatikan pula kejujuran dan sikap wara’ sang hakim. Dia putuskan persoalan keduanya tanpa merugikan pihak yang lain dan tidak mengambil keuntungan apapun. Seandainya hakimnya tidak jujur atau tamak, tentu akan mengupayakan keputusan yang menyebabkan harta itu lepas dari tangan mereka dan jatuh ke tangannya.
Pelajaran yang kita ambil dari kisah ini adalah sekelumit tentang sikap amanah dan kejujuran serta wara’ yang sudah langka di zaman kita.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin dalam Syarah Riyadhis Shalihin mengatakan:
Adapun hukum masalah ini, maka para ulama berpendapat apabila seseorang menjual tanahnya kepada orang lain, lalu si pembeli menemukan sesuatu yang terpendam dalam tanah tersebut, baik emas atau yang lainnya, maka harta terpendam itu tidak menjadi milik pembeli dengan kepemilikannya terhadap tanah yang dibelinya, tapi milik si penjual. Kalau si penjual membelinya dari yang lain pula, maka harta itu milik orang pertama. Karena harta yang terpendam itu bukan bagian dari tanah tersebut.
Berbeda dengan barang tambang atau galian. Misalnya dia membeli tanah, lalu di dalamnya terdapat barang tambang atau galian, seperti emas, perak, atau besi (tembaga, timah dan sebagainya). Maka benda-benda ini, mengikuti tanah tersebut.
Kisah lain, yang mirip dengan ini, terjadi di umat ini. Kisah ini sangat masyhur, wallahu a’lam.
Beberapa abad lalu, di masa-masa akhir tabi’in. Di sebuah jalan, di salah satu pinggiran kota Kufah, berjalanlah seorang pemuda. Tiba-tiba dia melihat sebutir apel jatuh dari tangkainya, keluar dari sebidang kebun yang luas. Pemuda itu pun menjulurkan tangannya memungut apel yang nampak segar itu. Dengan tenang, dia memakannya.
Pemuda itu adalah Tsabit. Baru separuh yang digigitnya, kemudian ditelannya, tersentaklah dia. Apel itu bukan miliknya! Bagaimana mungkin dia memakan sesuatu yang bukan miliknya?
Akhirnya pemuda itu menahan separuh sisa apel itu dan pergi mencari penjaga kebun tersebut. Setelah bertemu, dia berkata: “Wahai hamba Allah, saya sudah menghabiskan separuh apel ini. Apakah engkau mau memaafkan saya?”
Penjaga itu menjawab: “Bagaimana saya bisa memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya. Yang berhak memaafkanmu adalah pemilik kebun apel ini.”
“Di mana pemiliknya?” tanya Tsabit.
“Rumahnya jauh sekitar lima mil dari sini,” kata si penjaga.
Maka berangkatlah pemuda itu menemui pemilik kebun untuk meminta kerelaannya karena dia telah memakan apel milik tuan kebun tersebut.
Akhirnya pemuda itu tiba di depan pintu pemilik kebun. Setelah mengucapkan salam dan dijawab, Tsabit berkata dalam keadaan gelisah dan ketakutan: “Wahai hamba Allah, tahukah anda mengapa saya datang ke sini?”
“Tidak,” kata pemilik kebun.
“Saya datang untuk minta kerelaan anda terhadap separuh apel milik anda yang saya temukan dan saya makan. Inilah yang setengah lagi.”
“Saya tidak akan memaafkanmu, demi Allah. Kecuali kalau engkau menerima syaratku,” katanya.
Tsabit bertanya: “Apa syaratnya, wahai hamba Allah?”
Kata pemilik kebun itu: “Kamu harus menikahi putriku.”
Si pemuda tercengang seraya berkata: “Apa betul ini termasuk syarat? Anda memaafkan saya dan saya menikahi putri anda? Ini anugerah yang besar.”
Pemilik kebun itu melanjutkan: “Kalau kau terima, maka kamu saya maafkan.”
Akhirnya pemuda itu berkata: “Baiklah, saya terima.”
Si pemilik kebun berkata pula: “Supaya saya tidak dianggap menipumu, saya katakan bahwa putriku itu buta, tuli, bisu dan lumpuh tidak mampu berdiri.”
Pemuda itu sekali lagi terperanjat. Namun, apa boleh buat, separuh apel yang ditelannya, kemana akan dia cari gantinya kalau pemiliknya meminta ganti rugi atau menuntut di hadapan Hakim Yang Maha Adil?
“Kalau kau mau, datanglah sesudah ‘Isya agar bisa kau temui istrimu,” kata pemilik kebun tersebut.
Pemuda itu seolah-olah didorong ke tengah kancah pertempuran yang sengit. Dengan berat dia melangkah memasuki kamar istrinya dan memberi salam.
Sekali lagi pemuda itu kaget luar biasa. Tiba-tiba dia mendengar suara merdu yang menjawab salamnya. Seorang wanita berdiri menjabat tangannya. Pemuda itu masih heran kebingungan, kata mertuanya, putrinya adalah gadis buta, tuli, bisu dan lumpuh. Tetapi gadis ini? Siapa gerangan dia?
Akhirnya dia bertanya siapa gadis itu dan mengapa ayahnya mengatakan begitu rupa tentang putrinya.
Istrinya itu balik bertanya: “Apa yang dikatakan ayahku?”
Kata pemuda itu: “Ayahmu mengatakan kamu buta.”
“Demi Allah, dia tidak dusta. Sungguh, saya tidak pernah melihat kepada sesuatu yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Ayahmu mengatakan kamu bisu,” kata pemuda itu.
“Ayahku benar, demi Allah. Saya tidak pernah mengucapkan satu kalimat yang membuat Allah Subhanahu wa Ta’ala murka.”
“Dia katakan kamu tuli.”
“Ayah betul. Demi Allah, saya tidak pernah mendengar kecuali semua yang di dalamnya terdapat ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
“Dia katakan kamu lumpuh.”
“Ya. Karena saya tidak pernah melangkahkan kaki saya ini kecuali ke tempat yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Pemuda itu memandangi wajah istrinya, yang bagaikan purnama. Tak lama dari pernikahan tersebut, lahirlah seorang hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang shalih, yang memenuhi dunia dengan ilmu dan ketakwaannya. Bayi tersebut diberi nama Nu’man; Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah rahimahullahu.
Duhai, sekiranya pemuda muslimin saat ini meniru pemuda Tsabit, ayahanda Al-Imam Abu Hanifah. Duhai, sekiranya para pemudinya seperti sang ibu, dalam ‘kebutaannya, kebisuan, ketulian, dan kelumpuhannya’.
Demikianlah cara pandang orang-orang shalih terhadap dunia ini. Adakah yang mengambil pelajaran?
Wallahul Muwaffiq.

Selanjutnya klik...